Oleh : DR. Habib Ahmad bin Abdullah Al-Kaff
“Katakanlah, ’Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. “Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin (Kami tidak mengutus engkau, wahai Muham­mad, melainkan sebagai rahmat bagi se­luruh manusia).” -- QS Al-Anbiya ayat 107. Dalam ayat ini, rah­matan lil ‘alamin se­cara tegas dikaitkan dengan kerasul­an Nabi Muhammad SAW. Allah SWT ti­dak­lah menjadikan Nabi SAW sebagai rasul kecuali karena kerasulannya men­jadi rahmat bagi se­mesta alam.
Rahmat, yang berasal dari kata rahima, diartikan sebagai kasih sa­yang. Kasih sayang itu kemudian di­kait­kan de­ngan kedamaian, kerukunan, sa­ling meng­hargai, dan tasamuh (tole­ransi).
Menurut DR. Habib Ahmad bin Ab­dullah Al-Kaff, Islam adalah aga­ma yang paling toleran dan teladan utama tole­ransi adalah Nabi Muhammad SAW. Ten­tu kita ingat kisah ke­hidupan Ra­sul­ullah di Madinah yang hi­dup ber­dam­ping­an dengan Yahudi, Nas­rani, dan musyrik­in. Pada Piagam Madi­nah di­jelaskan, “Kita ummatan wahidah (Kita umat yang satu).” Artinya, Yahudi, Nas­rani, dan Is­lam hidup rukun, tidak boleh meng­gang­gu dan diganggu, hidup damai.
Rasulullah mengancam umat Islam yang memusuhi, mencela, dan melukai kafir dzimmi (non-muslim yang hidup ber­dampingan secara damai dengan muslim pada satu wilayah), tidak akan men­da­patkan syafa’at beliau di hari Kiamat. Bila demikian, siapa yang akan me­nolong, se­mentara satu-satunya orang yang mam­pu memberikan syafa’at telah memu­suhi. Ini bukti bahwa Rasul­ullah begitu menghormati umat agama lain yang tidak mengganggu umat Islam. Selama mere­ka tidak mengganggu, umat Islam harus berbuat baik kepada mereka.
Pemaksaan kehendak dalam meme­luk agama pun jelas tidak dikenal dalam Islam. “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami.” Ayat ini jelas meng­gambarkan bahwa Islam sangat menghar­gai perbedaan. Dalam suatu ri­wayat dike­mukakan bahwa ayat ini di­turunkan ke­pada Rasulullah ketika kaum Quraisy ber­usaha mempengaruhi Nabi SAW dengan menawarkan kekayaan agar beliau men­jadi seorang yang paling kaya di kota Mak­kah dan akan dinikah­kan dengan seorang wanita yang dike­hendaki Rasulullah. “Ini­lah yang kami se­diakan bagimu, hai Mu­hammad, dengan syarat engkau tidak me­maki-maki tuhan kami dan menjelekkan­nya, sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun maka kami juga akan menyem­bah Tuhanmu selama satu tahun.”
Nabi SAW terdiam menunggu petun­juk Allah Ta‘ala. Maka turunlah wahyu, yakni QS Al-Kafirun 1-6, yang artinya, “Katakanlah, ’Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”
Dalam riwayat lain dikemukakan bah­wa Walid bin Mughirah, Ashi bin Wa’il, Aswad bin Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf bertemu Rasulullah SAW dan ber­kata, “Hai Muhammad! Mari kita ber­sama menyembah apa yang kami sem­bah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemim­pin kami.” Maka turunlah surah Al-Kafirun.
Salah Kaprah
Belakangan muncul fenomena me­nyimpangkan pernyataan Islam rahmat­an lil ‘alamin pada pemahaman yang sa­lah kaprah, sehingga menimbulkan ba­nyak kesalahan dalam praktek beragama.
Masyarakat Indonesia begitu maje­muk, khususnya bila dilihat dari segi etnis/suku, bangsa, budaya, dan agama. Dengan demikian masyarakat Indonesia dihadapkan pada beberapa perbedaan, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup, hingga interaksi antar-manusia.
Ada dua masalah penting yang di­soroti Habib Ahmad dalam hubungan an­tar-umat beragama, yaitu masalah per­nikahan berbeda agama dan mem­beri­kan ucapan selamat pada saat pera­ya­an hari besar agama. Natal, mis­al­nya.
Dalam Islam, pernikahan antara pria mus­lim dan wanita non-muslimah dikhu­suskan pada wanita ahli kitab. Sebagian besar ulama membolehkannya. Ini dida­sar­kan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 5, yang arti­nya, “Dan dihalalkan menikahi perem­puan-perempuan yang menjaga kehor­matan dan dari kalangan orang-orang yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari ka­langan ahli kitab sebelum kamu.” Sedang­kan pernikahan wanita muslim dengan pria non-muslim sama se­kali tidak dibolehkan.
Namun, masalahnya, menurut Habib Ahmad, saat ini sulit sekali menemukan wanita ahli kitab yang benar-benar ber­pegang teguh pada Kitab Taurat dan Kitab Injil, dan memenuhi persyaratan-persyaratan lain sebagaimana dijelas­kan oleh para ulama. Di antaranya, tu­run-temurun nenek moyangnya adalah ahli kitab. Maka dapat dikatakan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini, yakni antara pria muslim dan wanita non-muslimah, tidak dapat dikatakan sah. Kedua kitab suci yang ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil asli.
Setiap kali mendekati perayaan Natal, istilah toleransi kembali digaung­kan. De­ngan toleransi, sudah sepan­tas­nya umat Islam tidak mengganggu umat Nasrani yang sedang menikmati keme­riahan hari rayanya. Tapi toleransi bukan partisipasi. Maka jangan sampai, karena alasan to­leransi, umat muslim ikut me­rayakan Natal dan mengucapkan selamat.
Hari Raya Natal merupakan peraya­an kelahiran Yesus, yang di­yakini umat Nasrani sebagai tuhan. Se­mentara umat Islam meyakini bahwa Tuhan itu ha­nya satu, yakni Allah SWT. Maka ketika umat Islam ikut memberi­kan ucapan se­lamat atas kelahir­an Yesus sebagai tu­han, me­nurut Habib Ahmad, ini menjadi fatal, lan­taran meng­akui kebera­daan tuhan selain Allah Ta‘ala. (sumber : majalah Al Kisah )

0 comments:

Post a Comment

santun berbahasa dan seksama dalam berpikir