Nabi Khidir as merupakan
orang yang sangat khusus, karena beliau adalah salah satu hamba Allah
yang ditunda kematiannya dan masih diberi rejeki. Selain itu beliau diutus
untuk memberi pelajaran Makrifat kepada Para Wali, para Sufi, maupun
kepada orang yang dengan tekun mendekatkan diri kepada Allah.
Nabi Khidir as mengajarkan ilmu tentang Makrifat, ada yang menyebutkan
beliau juga mengajarkan ilmu Laduni. Banyak orang yang ingin bertemu
dengan beliau, terutama para penganut Tarikat, ataupun mereka yang ingin
berguru kepada beliau. Kesalahan terbesar mereka adalah karena mereka ingin
bertemu, seharusnya jangan punya keinginan untuk bertemu,
biarkanlah beliau yang menemui kita.
Dalam beberapa riwayat, Nabi Khidir as memiliki Ciri-ciri fisik
yang tidak dimiliki oleh orang lain, yaitu: jempol tangan kanan
tidak bertulang, beliau selalu membawa tongkat, perawakan
beliau lebih tinggi dari kebanyakan kita.
Al-Khiḍr (Arab:
رضخلا , Khaḍr,
Khaḍer, al-Khaḍir) keterangan mengenai beliau terdapat dalam Al Quran Surah
Al-Kahfi ayat 65-82. dan beberapa hadist. “Mystical Dimensions of Islam”,
oleh penulis Annemarie Schimmel, Nabi Khidr as dianggap sebagai salah satu nabi
dari empat nabi dalam kisah Islam dikenal sebagai ‘Sosok yang tetap Hidup’ atau
‘Abadi’. Tiga lainnya adalah Idris (Enoch), Ilyas (Elias), dan Isa
(Jesus).
Nabi Khidr as abadi karena ia dianggap telah meminum air
kehidupan. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Khidr as adalah
masih sama dengan seseorang yang bernama Elia. Ia juga diidentifikasikan
sebagai St. George. Diantara pendapat awal para cendikiawan Barat,
Rodwell menyatakan bahwa “Karakter Nabi Khidr as dibentuk dari Jethro.”
Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan
nama dan julukan yang telah disandang oleh Nabi Khidr as. Beberapa orang
mengatakan Khidr adalah gelarnya; yang lainnya menganggapnya sebagai nama
julukan. Khidr telah
disamakan dengan St. George, dikenal sebagai “Elijah versi Muslim”
dan juga dihubungkan dengan Pengembara abadi.
Para cendikiawan telah menganggapnya dan mengkarakterkan sosoknya
sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius dan lain lain.
Al-Khiḍr secara harfiah berarti ‘Seseorang yang Hijau’ melambangkan
kesegaran jiwa, warna hijau melambangkan kesegaran akan pengetahuan “berlarut
langsung dari sumber
kehidupan.” Dalam situs Encyclopædia Britannica, dikatakan
bahwa Nabi Khidr as memiliki sebuah nama, yang paling terkenal adalah Balyā
bin Malkān.
Menurut Syaikh Imam M. Ma’rifatullah al- Arsy, Segitiga Bermuda
merupakan tempat titik terujung di dunia
ini. Ditengah kawasan itu terdapat sebuah telaga yang
airnya dapat membuat siapa saja yg meminumnya menjadi panjang umur, ditempat
itu pula Nabi Khidr as bertahta sebagai penjaga sumber air kehidupan tersebut.
Teguran Allah kepada Musa
Kisah Musa dan Khiḍr dituturkan oleh Al-Qur’an dalam Surah
Al-Kahfi ayat 65-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab
menceritakan bahwa beliau mendengar nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya
pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya,
“Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur
Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang
berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.” Lantas
Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun
berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan
sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku
itu.” Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri
Nabi Musa untuk menemui hamba yang shalih itu. Di samping itu, Nabi Musa juga
ingin sekali mempelajari ilmu dari Hamba Allah tersebut.
Nabi Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa
ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama
pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya bin
Nun. Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk
beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang
mereka bawa di
dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh
ke dalam air. Allah SWT membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke
laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan
yang telah mati itu. Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan
luar biasa itu, Yusya’ tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk
menceritakannya kepada Musa Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang
dan malamnya dan pada keesokan paginya, Ibn `Abbas berkata, “Nabi Musa
sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang
diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.”
Yusya’ berkata kepada Nabi Musa, “Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu
dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan
ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah
Al-Kahfi : 63)
Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah
menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut.
Kini, kedua-dua mereka berbalik arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di
batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua
buah lautan. Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64)
Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan
Khidir. Ada yang mengatakan bahwa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi
dengan Parsia yaitu tempat
bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain
mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat
pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu,
ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang
bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut
Merah.
Persyaratan belajar
Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang
hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan
salam kepadanya. Khidir menjawab salamnya dan
bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai
kesejahteraan? Siapakah kamu?” Jawab Musa, “Aku adalah Musa.” Khidir bertanya
lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa menjawab, “Ya. Aku datang menemui
Tuan supaya Tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah
diajarkan kepada Tuan.” Khidir menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak
akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (Surah Al-Kahfi : 67)
“Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian
daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan
kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang
tidak kuketahuinya.” Nabi Musa
berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan
aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69)
Dia (Khidir) selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku
sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al- Kahfi : 70)
Perjalanan Khidr dan Musa
Nabi Musa mengikuti Nabi Khidir dan terjadilah, peristiwa yang
menguji diri Musa yang telah berjanji bahwa Nabi Musa tidak
akan bertanya mengenai sesuatu tindakan Nabi Khidir. Setiap
tindakan Nabi Khidir a.s. itu dianggap aneh dan membuat Nabi
Musa terperanjat. Peristiwa ketika Nabi Khidir menghancurkan
perahu yang mereka ditumpangi . Nabi Musa bertanya kepada
Nabi Khidir. Nabi Khidir mengingatkan akan janji Nabi Musa, dan
Nabi Musa meminta maaf karena lalai mengingkari janji untuk tidak bertanya
mengenai tindakan Nabi Khidir. Ketika mereka tiba di suatu daratan, Nabi Khidir
membunuh bocah yang sedang bermain dengan teman sebayanya. Dan lagi-lagi Nabi
Musa bertanya kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi
Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap
yang dilakukan oleh Nabi Khidir, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus
rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir. Mereka melanjutkan
perjalanan hingga sampai disuatu Perkampungan. Sikap penduduk Kampung
itu tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat
Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh
penduduk, Nabi Khidir malah menyuruh Nabi Musa untuk memperbaiki tembok suatu
rumah yang rusak. Nabi Musa tidak kuasa untuk bertanya terhadap sikap Nabi
Khidir ini.
Akhirnya Nabi Khidir menegaskan pada Nabi Musa bahwa beliau tidak
dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa tidak diperkenankan
untuk terus melanjutkan bersama dengan Nabi Khidir. Nabi Khidir menguraikan
mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa bertanya.
Kejadian pertama adalah Nabi Khidir menghancurkan perahu yang mereka
tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah
seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.
Kejadian yang kedua,
Nabi Khidir menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang
tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat
mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak
ini digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya
hingga ke anak cucunya.
Kejadian yang ketiga ,
Nabi Khidir menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik
dua orang kakak
beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Didalam rumah
tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua
kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang shalih. Jika
tembok rumah tersebut
runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut
akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah
berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat
mengelola peninggalan harta ayahnya. Dipercaya tempat tersebut berada di negeri
Antakya, Turki.
Akhirnya Nabi Musa as. sadar hikmah dari setiap perbuatan yang telah
dikerjakan Nabi Khidir. Akhirnya mengerti pula Nabi Musa dan merasa amat bersyukur
karena telah dipertemukan oleh Allah dengan seorang hamba Allah yang shalih
yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari
yaitu ilmu ladunni.
Ilmu ini diberikan oleh Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Nabi Khidir yang bertindak sebagai seorang guru yang memberikan nasihat dan
menyampaikan ilmu seperti yang diminta oleh Nabi Musa. Saat mereka di dalam
perahu yang ditumpangi, datanglah seekor burung lalu hinggap di ujung perahu
itu. Burung itu meneguk air dengan paruhnya, lalu Nabi
Khidir berkata, “Ilmuku dan ilmumu tidak berbanding dengan ilmu
Allah, Ilmu Allah tidak akan pernah berkurang seperti air laut ini karena
diteguk sedikit airnya oleh burung ini.” Sebelum berpisah, Khidir berpesan
kepada Musa: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa.
Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah
pula apabila kamu melakukan kekhilafan, berputus asa dengan
kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan
kekhilafan yang kamu lakukan, wahai Ibnu `Imran.”
Hikmah kisah Khidir
Dari kisah Khidir ini kita dapat mengambil pelajaran penting.
Diantaranya adalah Ilmu merupakan karunia Allah SWT, tidak ada seorang manusia
pun yang boleh mengklaim bahwa dirinya lebih berilmu dibanding yang lainnya.
Hal ini dikarenakan ada ilmu yang merupakan anugrah dari Allah SWT yang diberikan
kepada seseorang tanpa harus mempelajarinya (Ilmu Ladunni, yaitu ilmu yang
dikhususkan bagi hamba-hamba Allah yang shalih dan terpilih).
Hikmah yang kedua, dalam menimba ilmu
kita perlu bersabar dan tidak terburu-buru untuk mendapatkan
kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang dialami.
Hikmah ketiga adalah setiap murid harus memelihara adab dengan
gurunya. Setiap murid harus bersedia mendengar penjelasan seorang guru dari
awal hingga akhir sebelum
nantinya dapat bertindak diluar perintah dari guru.
Hikmah keempat, dalam berguru ilmu makrifat janganlah banyak
bertanya, tetapi olah dalam otak, resapilah dalam hati pasti akan menemukan
jawabnya walau tanpa bertanya sekalipun.( cat : Pangeran Salafy)
0 comments:
Post a Comment
santun berbahasa dan seksama dalam berpikir